Di tempat itu pertama kali kita bertemu, suasana selalu sibuk. Namaku Andry, dan aku cenderung detail, sedikit kaku, dan sangat berpegang pada SOP. Kau, Dyah Ayu, adalah orang yang supel, penuh inisiatif, dan selalu memancarkan energi positif. Kita dipertemukan oleh sebuah konflik kecil yang fundamental, perbedaan cara kerja. Suatu hari, aku mengkritik caramu mengatur stok obat yang terkesan "acak-acakan" demi kecepatan layanan. Kau membalas dengan argumen bahwa fokus utama kita adalah kecepatan dan empati pada pasien yang sedang sakit, bukan kerapian rak yang kaku. Perdebatan kecil itu membuat kita saling waspada, namun anehnya, juga saling penasaran. Di sinilah sihir itu terjadi. Aku melihat ketulusanmu dan caramu menenangkan pasien yang paling rewel sekalipun. Kau melihat ketelitianku yang justru mencegah kesalahan fatal dalam pemberian dosis. Kita menemukan bahwa kelemahan masing-masing ditutupi oleh kekuatan pasangan. Dari ketegangan profesional, perlahan muncul rasa hormat. Diskusi sengit berubah menjadi obrolan hangat. Setelah berbulan bulan hanya berinteraksi di balik meja, aku mengajakmu keluar, bukan untuk membahas laporan, melainkan untuk istirahat. Kita pergi ke kedai kopi yang tenang. Kau bercerita tentang ambisimu membuka layanan konseling farmasi gratis, sebuah mimpi yang sangat mulia. Aku bercerita tentang masa laluku yang keras, yang membuatku cenderung berhati-hati dan detail. Aku menyadari, di balik sifat supelmu, ada kegigihan dan hati yang lembut. Kau menyadari, di balik sifat kaku dan seriusku, ada kehangatan yang mendalam dan keinginan besar untuk melindungimu. Kita tidak hanya jatuh cinta; kita saling melengkapi. Kau menjadi sayap yang mendorongku berani terbang, dan aku menjadi jangkar yang membuatmu tetap membumi.